Jumat, 05 Februari 2010

BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Apakah definisi dari budaya? Pertanyaan itu adalah pertanyaan yang telah ditanyakan dan dicari jawabnya sejak era Ibnu Khaldun sampai saat ini. Seolah-olah jawaban atas pertanyaan itu tidak pernah ada, atau mungkin ketika ditemukan jawabannya oleh seseorang, maka yang didefinisikan itu (budaya) lantas berubah. Oleh karenanya orang tak pernah sampai pada keputusan final yang disepakati oleh semua orang. Apalagi budaya dilihat dari kacamata berlainan tergantung yang melihatnya. Alhasil konsep budaya berbeda-beda tergantung siapa yang mendefinisikan konsep tersebut. Dalam buku-buku pengantar antropologi selalu disebutkan hasil temuan Kroeber & Kluckhon yang mengidentifikasi definisi budaya. Mereka mencatat sekurang-kurangnya terdapat 169 definisi berbeda. Hal itu menunjukkan betapa beragamnya sudut pandang yang digunakan untuk melihat budaya. Masing-masing disiplin ilmu memiliki sudut pandangnya sendiri, bahkan di dalam satu disiplin ilmu terdapat perbedaan karena pendekatan yang digunakan berbeda. Dalam disiplin ilmu psikologi misalnya, mungkin saja mereka yang tertarik dengan persoalan emosi akan mendefinisikan berbeda dengan mereka yang tertarik pada persoalan kesehatan mental
Pada dasarnya budaya berperan untuk meningkatkan kualitas manusia, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti yang luhur, mandiri, maju, kreatif, trampil, bertanggungjawab, produktif serta sehat jasmani dan rohani, sehingga mampu menghadapi segala perubahan era globalisasi yang menuntut kesiapan sumber daya manusia bukan hanya sebagai penonton, tetapi juga harus mampu sebagai pelaku. Konsekuensi dari masuknya budaya asing, pelaku bisnis, politik, ekonomi, dan sebagainya, bahkan nilai-nilai budaya asing, seperti perilaku free sex,pergaulan bebas tanpa batas dan bertolak belakang dengan budaya bangsa Indonesia, yang mampu menggeser budaya bangsa Indonesia. Untuk itu, yang mampu menghadapi masalah dan perubahan zaman adalah pemahaman budaya masyarakat perlu ditanamkan pada mahasiswa sehingga mampu memilah dan memilih yang terbaik untuk menentukan sikap perilaku yang terbaik bagi diri sendiri dan bangsa Indonesia.
I.2 Tujuan
1. Mengetahui keanekaragaman budaya Indonesia.
2. Mengetahui berbagai macam budaya lokal.
3. Mengetahui permasalahan budaya lokal dan Nasional saat ini.
4. Mengetahui cara yang tepat guna menyelesaikan permasalahan budaya Indonesia
5. Mengetahui budaya lokal yang berperan dalam memperkokoh budaya bangsa
6. Menambah rasa kecintaan pembaca akan budaya Bangsa Indonesia.

I.3 Sasaran
1. Terwujudnya masyarakat Indonesia yang memiliki pengetahuan akan keanekaragaman budayanya baik lokal maupun nasional.
2. Terwujudnya masyarakat Indonesia yang mengerti dan memahami akan masalah kebudayaan yang sedang dan akan mereka hadapi.
3. Terwujudnya ketahanan budaya lokal dan nasional.
4. Terwujudnya masyarakat Indonesia yang memiliki rasa nasionalisme dan cinta tanah air yang berdasarkan Pancasila.



















BAB II
PERMASALAHAN
II.1 Kekuatan (Strength)
Konon, ulos melambangkan ikatan kasih sayang orang tua kepada anak-anaknya atau antar sesama, seperti falsafah Batak: “ijuk pengihot ni hodong”, yang kurang-lebih artinya “ijuk pengikat pelepah pada batangnya”, karena ulos juga berfungsi sebagai penghangat badan, maka jika dilihat dari makna simboliknya bisa menghangatkan hubungan silaturahmi antar suku Batak sendiri, yaitu antara suku Batak Toba, Karo, Pakpak-Dairi, Simalungun, dan Angkola-Mandailing, maupun dengan suku-suku lain dari seluruh pelosok Tanah Air.
Dengan makna seperti itu, berarti etnik Batak sejak dulu sudah memiliki falsafah pemersatu. sesungguhnya, etnik-etnik Nusantara yang lain pun juga memiliki kekayaan budaya pemersatu yang serupa, seperti pepatah “bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh”, sama persis dengan ajaran Jawa “rukun agawe santosa, crah agawe bubrah”. Jika kita elaborasi lebih lanjut, akan kita temukan bahwa budaya dapat menjadi perekat dan penguat, bahkan pemersatu bangsa Indonesia. Berbicara tentang budaya, berarti kita harus mengkaji ulang konsep Kebudayaan Nasional, yang selama ini persepsi kita terlanjur memposisikannya sebagai wahana perekat persatuan dan kesatuan bangsa, yang kini banyak dipertanyakan kembali eksistensinya.
Konsep Kebudayaan Nasional itu telah menjadi bahan diskusi para cendekiawan dalam forum Polemik Kebudayaan di tahun 30-an, khususnya antara Koentjaraningrat dan Sutan Takdir Alisjahbana. Mereka membangun suatu wacana kebudayaan yang membuat kita semakin memiliki wawasan, betapa luasnya hakikat kebudayaan itu. Koentjaraningrat mengemukakan tentang dua fungsi dari Kebudayaan Nasional Indonesia , yaitu sebagai suatu sistem gagasan dan lambang yang berfungsi memberi identitas kepada warga negara Indonesia, dan dapat dipakai oleh semua warga negara Indonesia yang bhinneka tunggal ika, untuk saling berkomunikasi, dan dengan demikian dapat memperkuat solidaritas.
Lagu Tapanuli ”A Sing-Sing So” misalnya, bukan lagi hanya diakui sebagai lagu khas etnis Batak. Tetapi telah mengIndonesia, menjadi pilihan lagu di berbagai grup musik dan paduan suara di seluruh Tanah Air. Koentjaraningrat juga memberi contoh yang lain, bahwa orang Batak Karo yang tinggal di Kabanjahe pun seharusnya juga mengakui orang-orang yang di Abad ke-9 tinggal di lembah Merapi sebagai nenek-moyang mereka, walaupun dulu belum berjiwa nasional Indonesia. Hal ini dimaksudkan, agar orang Batak Karo pun turut bangga memiliki Candi Borobudur hasil rekayasa teknologi canggih di masa Mataran Lama itu.
Dalam fungsi pemberi identitas, suatu unsur kebudayaan dapat menjadi unsur Kebudayaan Nasional Indonesia, apabila paling sedikit memenuhi dua syarat, yaitu harus merupakan hasil karya warga setempat, berupa tema berpikir atau wujudnya mengandung ciri-ciri khas Indonesia, dan oleh sebanyak mungkin warga negara Indonesia lainnya dinilai sedemikian tinggi, sehingga dapat menjadi kebanggaan mereka semua, dan dengan demikian mereka mau mengidentifikasi diri dengan unsur kebudayaan itu.
Dalam fungsi memperkuat solidaritas, unsur itu sedikitnya harus memiliki dua syarat, yaitu berciri khas Indonesia, dan menjadi “gagasan kolektif” sebagai wahana komunikasi untuk menumbuhkan rasa saling pengertian dan rasa solidaritas bangsa. Ideologi Pancasila dan bahasa Indonesia dapat dikatakan berfungsi ganda, baik sebagai identitas nasional maupun pengikat solidaritas bangsa dalam memperkokoh semangat persatuan. Kebudayaan Nasional tidak sekadar pemberi identitas, memperkuat solidaritas dan kebanggaan masa lalu yang bersifat ekspresif saja, tetapi juga menjadi penjelmaan sifat progresif kebudayaan modern, yang dikuasai oleh ilmu dan ekonomi yang melahirkan teknologi dan berpusat pada universitas, bank dan pabrik. Jika bangsa Indonesia ingin hidup sejajar dengan bangsa-bangsa lain, harus berani mengubah orientasi budaya, dari aspek ekspresif yang bersifat kosmetik ke aspek progresif yang rasional. Sesungguhnya kekuatan kebudayaan Bangsa kita sangatlah kekal sebagai simbol dan lambang persatuan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
II.2 Kelemahan (weakness)
Kelemahan budaya di Indonesia saat ini adalah ketidaklengkapannya data mengenai seni budaya yang tersebar di setiap daerah. Perlindungan hak cipta terhadap seni budaya juga sangat lemah, sedangkan publikasi multimedia secara internasional mengenai produk seni budaya masih sangat minim. Pemerintah sudah menghimbau pemerintah daerah agar menginventarisasi seni budaya lokal yang ada di daerahnya. Namun, dari 33 provinsi yang ada di Tanah Air, baru tiga provinsi, yakni Bali, Nusa Tenggara Barat, dan DI Yogyakarta, yang melakukan inventarisasi seni budaya mereka. Hasilnya, terdapat sekitar 600 seni budaya yang ada di ketiga provinsi tersebut.
Sampai saat ini belum ada sanksi bagi daerah yang tidak melakukan inventarisasi seni budaya lokal mereka, padahal hal tersebut akan sangat bermanfaat bagi kemajuan pelestarian dan pengembangan budaya lokal maupun Nasional Akibat berbagai kelemahan ini, seni budaya Indonesia sering diklaim negara lain, padahal jika Indonesia memiliki daftar kekayaan intelektual termasuk seni budaya, daftar itu bisa disampaikan kepada Organisasi Hak Kekayaan Intelektual Dunia di Geneva untuk mendapat pengakuan internasional. Namun, hal itu belum dilakukan Indonesia.
Selain inventarisasi dan publikasi yang lemah, Indonesia juga menghadapi persoalan buruknya birokrasi pendataan hak cipta. Banyak permohonan pendaftaran hak cipta bidang seni yang disampaikan ke Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (Dephuk dan HAM). Namun, kebanyakan permohonan yang disetujui belum dipublikasikan. Hal ini juga disebabkan dengan belum adanya dasar hukum formal.
II.3 Peluang (Opportunities)
Dalam upaya membangun semangat keIndonesiaan kita dapat dilakukan melalui Dialog Budaya Antaretnik. Setiap kelompok budaya saling menyapa dan mengenal untuk saling memberi dan menerima. Misalnya, dari sistem nilai Jawa, etnis Bugis bisa mendewasakan prinsip siri’, agar tidak terkungkung pada masalah-masalah sempit kekeluargaan, tapi menjangkau hal-hal yang lebih besar artinya bagi bangsa. Dari etnis Minang, orang Bugis dapat belajar tentang prinsip musyawarah, karena mereka terbiasa menyelesaikan persoalan secara kaku, pantang berubah, sebab siri’ memerlukan pemenuhan seketika. Dari sistem nilai Jawa, orang Bugis dapat belajar tentang tenggang rasa dan kekuatan di dalam kalbu. Kelompok etnis Jawa dan Minang pun dapat belajar dari sistem nilai Bugis-Makasar dalam penekanan kesetiaan pada kata (kana). Orang Bugis tidak suka melebih-lebihkan kata.
Demikian juga masyarakat etnik yang lain agar belajar dari budaya malu (al-haya’) dan berkata yang benar (quli al-haq), dua integritas pribadi Muslim Aceh yang khas. Dari budaya Batak misalnya, etnik-etnik Nusantara dapat belajar transparansi dan demokratisasi yang egaliter.
Pengembangan sikap toleransi, dengan sikap seperti itu menyadarkan kita bahwa tidak ada satupun negara yang masyarakatnya hanya terdiri dari satu budaya, agama, kelompok tertentu, etnis, atau asal kelahiran, melainkan majemuk, oleh sebab itu hidup bersama dalam semangat toleransi perlu dikembangkan di dalam masyarakat sebagai perekat persatuan dan kesatuan bangsa yang lebih utuh. Proses integrasi berbagai budaya dan bangsa adalah keniscayaan dalam sejarah Nusantara, mereka bisa hidup bertetangga, saling menghormati, dan terbuka bagi siapa pun, tanpa memandang agama, suku dan warna kulit.
Setiap budaya punya sisi baik dan buruknya. Memadukan yang baik, menjadikannya sebagai perpaduan baru adalah cara yang bijak, daripada menolaknya mentah-mentah. Terhadap budaya orang dan diri sendiri, sikap yang baik adalah tidak merasa rendah diri, tetapi juga tidak terlalu sempit dalam membanggakan budaya sendiri. Kita perlu belajar dari budaya orang lain dan budaya sendiri. Kita bisa belajar banyak hal positif dari keberagaman manusia, agama, dan suku bangsa, yang bisa dilakukan lewat dialog budaya antaretnik.
Sebelum Indonesia merdeka, sebenarnya semua daerah di Nusantara berasal dari berbagai etnik. Setelah lahir kesadaran politik pada Proklamasi 17 Agustus 1945, maka sejak itu kita tanggalkan baju identitas etnik, menjadi satu bangsa Indonesia. Setelah itu, kita membawa budaya lokalnya masing-masing sehingga budaya kita seperti “mozaik” yang indah dipandang. Kita semestinya punya pandangan yang lebih dinamik, dengan menempatkan pluralitas budaya-budaya etnik itu layaknya “serat-serat” yang mengandung konotasi saling menguatkan, seperti serat-serat pada batang pohon atau anyaman benang pada kain tenun. Sebab menurutnya, dengan memandangnya sebagai “mozaik” akan hanya menguntungkan bagi orang-orang asing, karena bagaikan sumur yang takkan habis airnya untuk ditimba. Oleh sebab itu, kita memerlukan adanya Dialog Budaya antar etnik, agar lambat-laun terjalin menjadi “serat-serat” yang mengukuhkan keBhinneka Tunggal Ikaan budaya Nusantara menjadi budaya Indonesia Baru yang lebih menyatu. Dalam hubungan itu, Bhinneka Tunggal Ika diharapkan menjadi strategi kebudayaan, yang bisa dituangkan ke dalam kebijakan publik. Strategi kebudayaan itu harus ditujukan agar seluruh kekayaan budaya-budaya Etnik dan Masyarakat Adat terjalin erat dalam “serat-serat kebudayaan”. Setidaknya ada dua pendekatan yang saling terkait. Pertama, melalui pendekatan kultural, agar setiap kelompok budaya saling menyapa dan mengenal, untuk saling memberi dan menerima.
Sekaranglah saatnya kita mengukuhkan persatuan dan kesatuan bangsa yang tidak sebatas tawar-menawar politik, tetapi dengan tawaran kehidupan budaya yang lebih hangat. Kedua, pemulihan hak-hak masyarakat lokal dalam mengakses pada sumberdaya ekonomi lokal. Sejarah telah memberikan pelajaran, bahwa hidup dalam multikulturalisme yang penuh toleran dan saling menghargai dapat menjadi sumber kemajuan. Ketika semua merayakan perbedaan dari suku, bahasa dan agama sebagai sesuatu yang baik bagi kehidupan, hal itu akan menjadi sumber kemajuan. Tetapi sebaliknya, ketika permusuhan yang dikembangkan hasilnya adalah kematian dan peperangan. Kemajemukan adalah salah bagian dari sejarah kemajuan beberapa negara besar sekarang, termasuk Amerika dan Eropa. Sejarah juga menunjukkan, proses integrasi berbagai budaya dan bangsa adalah keniscayaan dalam sejarah Nusantara. Maka, jangan sekali-sekali melupakan sejarah. Setiap budaya punya sisi baik dan buruknya. Memadukan yang baik, menjadikannya sebagai sintesis baru adalah cara yang bijak, daripada menolaknya. Filosofi yang baik adalah tidak merasa inferior, tetapi juga tidak superior dengan budaya etnik sendiri. Filosofi ini penting bagi masa depan kebudayaan Indonesia di dunia global yang multikultural ini.
II.4 Tantangan (Threat)
Kebudayaan Modern Tiruan Tantangan yang sungguh-sungguh mengancam kita adalah Kebudayaan Modern Tiruan. Dia mengancam justru karena tidak sejati, tidak substansial. Yang ditawarkan adalah semu. Kebudayaan itu membuat kita menjadi manusia plastik, manusia tanpa kepribadian, manusia terasing, manusia kosong, manusia latah. Kebudayaan Blasteran Modern bagaikan drakula: ia mentereng, mempunyai daya tarik luar biasa, ia lama kelamaan meyedot pandangan asli kita tentang nilai, tentang dasar harga diri, tentang status.Ia menawarkan kemewahan-kemewahan yang dulu bahkan tidak dapat kita impikan. Ia menjanjikan kepenuhan hidup, kemantapan diri, asal kita mau berhenti berpikir sendiri, berhenti membuat kita kehilangan penilaian kita sendiri. Akhirnya kita kehabisan darah , kehabisan identitas. Kebudayaan modern tiruan membuat kita lepas dari kebudayaan tradisional kita sendiri, sekaligus juga tidak menyentuh kebudayaan teknologis modern sungguhan.
Bagaimana Memberi Makan, Sandang, dan Rumah Ki Hajar Dewantara mengatakan bahwa, budaya adalah perjuangan manusia dalam mengatasi masalah alam dan zaman. Permasalahan yang paling mendasar bagi manusia adalah masalah makan, pakaian dan perumahan. Ketika orang kekurangan gizi bagaimana ia akan mendapat orang yang cerdas. Ketika kebutuhan pokok saja tidak terpenuhi bagaimana orang akan berpikir maju dan menciptakan teknologi yang hebat. Jangankan untuk itu, permasalahan pemenuhan kebutuhan kita sangat mempengaruhi pola hubungan di antara manusia. Orang rela mencuri bahkan membunuh agar ia bisa makan sesuap nasi. Sehingga, kelalaian dalam hal ini bukan hanya berdampak pada kemiskinan, kelaparan, kematian, akan tetapi akan berpengaruh dalam tatanan budaya-sosial masyarakat.
Masalah Pendidikan yang Tepat. Pendidikan masih menjadi tantangan yang butuh perhatian serius jika bangsa ini ingin dipandang dalam percaturan dunia. Ada fenomena yang menarik terkait dengan hal ini, yaitu mengenai kolaborasi kebudayaan dengan pendidikan, dalam artian bagaimana sistem pendidikan yang ada mengintrinsikkan kebudayaan di dalamnya. Dimana ada suatu kebudayaan yang menjadi spirit dari sistem pendidikan yang kita terapkan.
Mengejar Kemajuan Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. tantangan ini beranjak ketika kita sampai saat ini masih menjadi konsumen atas produk-produk teknologi dari negara luar. Situasi keilmiahan kita belum berkembang dengan baik dan belum didukung oleh iklim yang kondusif bagi para ilmuan untuk melakukan penelitian dan penciptaan produk-produk, teknologi baru. Jika kita tetap mengandalkan impor produk dari luar negeri, maka kita akan terus terbelakang. Oleh karena itu, hal ini tantangan bagi kita untuk mengejar ketertinggalan iptek dari negara-negara maju.













BAB III
PENUTUP
III.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari kekuatan, kelemahan, peluang, serta tantangan dari peran budaya lokal dalam memperkokoh budaya bangsa adalah bahwa Bangsa kita merupakan bangsa majemuk yang terdiri dari berbagai suku, etnik, bahasa, agama, serta adat istiadat. Memiliki begitu banyak kekayaan alam dan budaya yang sepatutnya kita lestarikan dan kita jaga demi menjaga jati diri Bangsa Indonesia. Budaya lokal yang tersebar di 33 provinsi dan 17.504 pulau merupakan pilar-pilar yang menopang berdirinya Bangsa Indonesia, dan apabila satu saja pilar tersebut hilang atau hancur, maka runtuh pula Negara Kesatuan Republik Indonesia kita.
III.2 Rekomendasi
Dalam menjaga agar budaya lokal tetap menjadi pilar-pilar yang kokoh bagi ketahanan budaya bangsa sepantasnya kita jangan pernah melupakan setiap bagian provinsi, pendapatan harus terditribusi secara merata di setiap daerah. Jangan pernah membedakan suku-suku lain (rasisme), junjung tinggi rasa toleransi dan solidartas, serta kerukunan antar suku dan umat beragama. Tingkatkan rasa kepedulian serta rasa saling menolong. Peliharalah lingkungan alam kita, darat, laut, maupun udara. Tegakkan hukum dan peraturan secara tegas dan bertanggung jawab, adili pelanggaran-pelanggaran hak yang pernah terjadi dari sabang sampai merauke, dengan begitu kedepannya tidak akan ada lagi pemberontakan, terorisme dan, pastinya indonesia akan makmur sejahtera dan dengan sendirinya kebudayaan Nasional dapat kita jaga.

PEMAKAIAN BAHASA INDONESIA DALAM KARYA TULIS ILMIAH

PEMAKAIAN BAHASA INDONESIA DALAM KARYA TULIS ILMIAH
Bahasa indonesia sebagai bahasa nasional tentu saja digunakan dalam berbagai betuk jenis penulisan, mulai dari penulisan ilmiah dan non-ilmiah, yang pada kenyataannya tidak terlepas dari kesalahpahaman dalam penggunaan kalimatnya.
Semestinya sebuah karya ilmiah hendaknya menggunakan bahasa yang jelas, tepat dan formal dan lugas. Kegiatan dan ketepatan isi dapat diwujudkan dengan menggunakan kata dan istilah yang jelas dan tepat, kalimat yang tidak berbelit-belit, dan struktur paragraf yang runtut.
Kesalahan penggunaan bahasa dalam artikel ilmiah menyebabkan gagasan yang disampaikan penulis tidak dapat diterima oleh pembaca. Kemungkinan, pemakaian bahasa yang salah menyebabkan pemahaman pembaca bertolak belakang dangan gagasan penulis.
A. Bahasa Tulis ilmiah
Bahasa tulis ilmiah merupakan perpaduan ragam bahasa tulis dan ragam bahasa ilmiah, adapun ciri-ciri dari ragam bahasa ilmiah adalah :
1. Kosakata yang digunakan dipilih secara cermat
2. Pembentukan kata dilakukan secara sempurna
3. Kalimat dibentuk dengan struktur yang lengkap
4. Paragraf dikembangkan secara lengkap dan padu
Ragam bahasa ilmiah memiliki ciri :
1.Cendikia
Di dalam bahasa cendekia mampu membentuk pernyataan yang tepat dan seksama sehingga gagasan yang disampaikan penulis dapat diterima oleh pembaca secara tepat. Kalimat-kalimat yang digunakan mencerminkan ketelitian yang objektif sehingga suku-suku kalimatnya mirip dengan proposisi logika.
Kecendikiaan juga berhubungan dengan kecermataan memilih kata seperti : tidak mubazir, tidak rancu, dan bersifat idiomatis.
2. Lugas
Dengan paparan yang lugas, kesalahpahaman dan kesalahan menafsirkan isi kalimat akan terhindarkan. Penulisan yang bernada sastra cenderung tidak mengungkapkan sesuatu secara langsung (lugas).
3. Jelas
Ketidakjelasan pada umumya akan muncul pada kalimat yang sangat panjang. Dalam kalimat panjang, hubungan antar gagasan menjadi tidak jelas. Oleh sebab itu, dalam artikel ilmiah disarankan tidak digunakan kalimat yang terlalu panjang. Kalimat panjang boleh digunakan asalkan penulis cermat dalam menyusun kalimat sehingga hubungan antar gagasan dapat diikuti secara jelas.
4. Bertolak dari gagasan
Penonjolan diarahkan pada gagasan atau hal-hal yang diungkapkan, tidak pada penulis / pelaku.
5. Formal
Tingkat keformalan bahasa dalam artikel ilmiah dapat dilihat pada lapis kosakata, bentukan kata, dan kalimat. Kosakata yang digunakan cenderung menggarah pada kosakata ilmiah teknis, yang jarang dipahami oleh masyarakat umum. Perlu kecermataan dalam memilih kosakata untuk artikel ilmiah.
Keformalan kalimat dalam artikel ilmiah ditandai oleh :
<1> Kelengkapan unsur wajib(subjek dan Predikat)
<2> Kebenaran isi
<3> Tampilan esai formal
6. Obyektif
Hindari kata-kata yang menunjukan sifat subjektif, seperti :
Dari paparan tersebut kiranya dapat disimpulkan.
7. Ringkas dan padat
Contoh :
Nilai etis sebagaimana tersebut pada paparan di atas menjadi pedoman dan dasar pegangan hidup dan kehidupan bagi setiap warga Negara Indonesia.
8. Konsisten
Contoh :
Untuk mengatasi penumpang yang melimpah menjelang dan usai lebaran, pengusaha angkutan dihimbau mengoprasikan semua telah disiapkan kendaraan ekstra.
B. Menggunakan paragraf yang benar
Banyak ilmuan Indonesia tidak dapat menggunakan paragraf secara efektif, karena tidak dipahaminya fungsi paragraf sebagai pemersatu kalimat yang berhubungan secara sebab-akibat menjelaskan suatu kesatuan gagasan atau tema.
C. Kesalahan umum pemakaian Bahasa Indonesia dalam artikel ilmiah.
Nyatanya kesalahpahaman pemakaian Bahasa Indonesia terjadi tidak hanya pada penulisan non-ilmiah, namun banyak didapatkan pada artikel ilmiah, seperti :
1. Kesalahan penalaran
contoh :
Dengan penalaran ini dapat meningkatkan kreativitas mahasiswa.
2. Kerancuan
contoh :
Memperlebarkan <> Memperlebar.
Dan lain sebagainya <> dan lain-lain / dan sebagainya
3. Pemborosan
Contoh :
Data yang digunakan untuk menjawab semua permasalahan yang ada dalam penelitian ini dapat dipilah menjadi dua, yaitu data utama dan data penunjang.
4. Ketidaklengkapan kalimat
Sebuah kalimat dikatakan lengkap bila setidaknya memiliki pokok dan penjelas atau subjek dan predikat.
5. Kesalahan kalimat pasif
D. Pemilihan kata dan istilah
Seorang terpelajar diharapkan mengguasai kosa kata umum serta seperangkat peristilahan dibidang ilmu yang ditekuninya. Perbaikan khazanah kosakata dapat dicapai dengan jalan banyak membaca dan mempelajari kata-kata yang sulit dengan pertolongan kamus (kamus umum atau kamus isatilah).
Kata memiliki medan makna dengan corak, nuansa, dan kekuatan yang berbeda-beda, misalnya :
Salah, Kurang tepat, tidak benar, keliru, semuanya memiliki makna yang sama tetapi penggaruh pemakaiannya amat berlainan. Juga misalnya kata-kata yang bersinonim : ongkos, sewa, upah, belanja, biaya, anggaran.
Contoh lain : kata hutan dapat berfungsi sebagai kata benda (hutan jati), kata kerja (menghutankan), atau kata sifat (menghutan, ayam hutan).

SEJARAH BAHASA INDONESIA

SEJARAH BAHASA INDONESIA


Bahasa Melayu Kuna itu tidak hanya dipakai pada zaman Sriwijaya karena di Jawa Tengah (Gandasuli) juga ditemukan prasasti berangka tahun 832 M dan di Bogor ditemukan prasasti berangka tahun 942 M yang
juga menggunakan bahasa Melayu Kuna. Pada zaman Sriwijaya, bahasa Melayu dipakai sebagai bahasa kebudayaan, yaitu bahasa buku pelajaran agama Budha. Bahasa Melayu juga dipakai sebagai bahasa perhubungan antarsuku di Nusantara dan sebagai bahasa perdagangan, baik sebagai bahasa antarsuku di Nusantara maupun sebagai bahasa yang digunakan terhadap para pedagang yang datang dari luar Nusantara.Bahasa Indonesia tumbuh dan berkembang dari bahasa Melayu yang sejak zaman dulu sudah dipergunakan sebagai bahasa perhubungan (lingua franca) bukan hanya di Kepulauan Nusantara, melainkan juga hampir di seluruh Asia Tenggara. pada saat itu, para pemuda dari berbagai pelosok Nusantara berkumpul dalam Kerapatan Pemuda dan berikrar (1) bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia, (2) berbangsa yang satu, bangsa Indonesia, dan (3) menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Ikrar para pemuda ini dikenal dengan nama Sumpah Pemuda.
Bahasa Melayu mudah diterima oleh masyarakat Nusantara sebagai bahasa perhubungan antarpulau, antarsuku, antarpedagang, antarbangsa, dan antarkerajaan karena bahasa Melayu tidak mengenal tingkat tutur. Bahasa Melayu dipakai di mana-mana di wilayah Nusantara serta makin berkembang dan bertambah kukuh keberadaannya. Bahasa Melayu yang dipakai di daerah di wilayah Nusantara dalam pertumbuhannya dipengaruhi oleh corak budaya daerah. Bahasa Melayu menyerap kosakata dari berbagai bahasa, terutama dari bahasa Sanskerta, bahasa Persia, bahasa Arab, dan bahasa-bahasa Eropa.
Para pemuda Indonesia yang tergabung dalam perkumpulan pergerakan secara sadar mengangkat bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia, yang menjadi bahasa persatuan untuk seluruh bangsa Indonesia (Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928). Kebangkitan nasional telah mendorong perkembangan bahasa Indonesia dengan pesat. Peranan kegiatan politik, perdagangan, persuratkabaran, dan majalah sangat besar dalam memodernkan bahasa Indonesia. Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1945, telah mengukuhkan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia secara konstitusional sebagai bahasa negara. Kini bahasa Indonesia dipakai oleh berbagai lapisan masyarakat Indonesia, baik di tingkat pusat maupun daerah.


Fungsi Bahasa Dalam Masyarakat :
1. Alat untuk berkomunikasi dengan sesama manusia.
2. Alat untuk bekerja sama dengan sesama manusia.
3. Alat untuk mengidentifikasi diri.


Kedudukan dan Fungsi Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Nasional
Janganlah sekali-kali disangka bahwa berhasilnya bangsa Indonesia mempunyai bahasa Indonesia ini bagaikan anak kecil yang menemukan kelereng di tengah jalan. Kehadiran bahasa Indonesia mengikuti perjalanan sejarah yang panjang. (Untuk meyakinkan pernyataan ini, silahkan dipahami sekali lagi Sejarah Perkembangan Bahasa Indonesia.) Perjalanan itu dimulai sebelum kolonial masuk ke bumi Nusantara, dengan bukti-bukti prasasti yang ada, misalnya yang didapatkan di Bukit Talang Tuwo dan Karang Brahi serta batu nisan di Aceh, sampai dengan tercetusnya inpirasi persatuan pemuda-pemuda Indonesia pada tanggal 28 Oktober 1928 yang konsepa aslinya berbunyi:
Kami poetera dan poeteri Indonesia
mengakoe bertoempah darah satoe,
Tanah Air Indonesia.
Kami poetera dan poeteri Indonesia
mengakoe berbangsa satoe,
Bangsa Indonesia.
Kami poetera dan poeteri Indonesia
mendjoendjoeng bahasa persatoean,
Bahasa Indonesia.
Dari ketiga butir di atas yang paling menjadi perhatian pengamat (baca: sosiolog) adalah butir ketiga. Butir ketiga itulah yang dianggap sesuati yang luar biasa. Dikatakan demikian, sebab negara-negara lain, khususnya negara tetangga kita, mencoba untuk membuat hal yang sama selalu mengalami kegagalan yang dibarengi dengan bentrokan sana-sini. Oleh pemuda kita, kejadian itu dilakukan tanpa hambatan sedikit pun, sebab semuanya telah mempunyai kebulatan tekad yang sama. Kita patut bersyukur dan angkat topi kepada mereka.
Kita tahu bahwa saat itu, sebelum tercetusnya Sumpah Pemuda, bahasa Melayu dipakai sebagai lingua franca di seluruh kawasan tanah air kita. Hal itu terjadi sudah berabad-abad sebelumnya. Dengan adanya kondisi yang semacam itu, masyarakat kita sama sekali tidak merasa bahwa bahasa daerahnya disaingi. Di balik itu, mereka telah menyadari bahwa bahasa daerahnya tidak mungkin dapat dipakai sebagai alat perhubungan antar suku, sebab yang diajak komunikasi juga mempunyai bahasa daerah tersendiri. Adanya bahasa Melayu yang dipakai sebagai lingua franca ini pun tidak akan mengurangi fungsi bahasa daerah. Bahasa daerah tetap dipakai dalam situasi kedaerahan dan tetap berkembang. Kesadaran masyarakat yang semacam itulah, khusunya pemuda-pemudanya yang mendukung lancarnya inspirasi sakti di atas.
Apakah ada bedanya bahasa Melayu pada tanggal 27 Oktober 1928 dan bahasa Indonesia pada tanggal 28 Oktober 1928? Perbedaan ujud, baik struktur, sistem, maupun kosakata jelas tidak ada. Jadi, kerangkanya sama. Yang berbeda adalah semangat dan jiwa barunya. Sebelum Sumpah Pemuda, semangat dan jiwa bahasa Melayu masih bersifat kedaerahan atau jiwa Melayu. Akan tetapi, setelah Sumpah Pemuda semangat dan jiwa bahsa Melayu sudah bersifat nasional atau jiwa Indonesia. Pada saat itulah, bahasa Melayu yang berjiwa semangat baru diganti dengan nama bahasa Indonesia.
“Hasil Perumusan Seminar Politik Bahasa Nasional” yang diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 25-28 Februari 1975 antara lain menegaskan bahwa dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia berfungsi sebagai (1) lambang kebanggaan nasional, (2) lambang identitas nasional, (3) alat pemersatu berbagai-bagai masyarakat yang berbeda-beda latar belakang sosial budaya dan bahasanya, dan (4) alat perhubungan antarbudaya antardaerah.
Sebagai lambang kebanggaan nasional, bahasa Indonesia ‘memancarkan’ nilai-nilai sosial budaya luhur bangsa Indonesia. Dengan keluhuran nilai yang dicerminkan bangsa Indonesia, kita harus bangga dengannya; kita harus menjunjungnya; dan kita harus mempertahankannya. Sebagai realisasi kebanggaan kita terhadap bahasa Indonesia, kita harus memakainya tanpa ada rasa rendah diri, malu, dan acuh tak acuh. Kita harus bngga memakainya dengan memelihara dan mengembangkannya.
Sebagai lambang identitas nasional, bahasa Indonesia merupakan ‘lambang’ bangsa Indonesia. Ini beratri, dengan bahasa Indonesia akan dapat diketahui siapa kita, yaitu sifat, perangai, dan watak kita sebagai bangsa Indonesia. Karena fungsinya yang demikian itu, maka kita harus menjaganya jangan sampai ciri kepribadian kita tidak tercermin di dalamnya. Jangan sampai bahasa Indonesia tidak menunjukkan gambaran bangsa Indonesia yang sebenarnya.
Dengan fungsi yang ketiga memungkinkan masyarakat Indonesia yang beragam latar belakang sosial budaya dan berbeda-beda bahasanya dapat menyatu dan bersatu dalam kebangsaan, cita-cita, dan rasa nasib yang sama. Dengan bahasa Indonesia, bangsa Indonesia merasa aman dan serasi hidupnya, sebab mereka tidak merasa bersaing dan tidak merasa lagi ‘dijajah’ oleh masyarakat suku lain. Apalagi dengan adanya kenyataan bahwa dengan menggunakan bahasa Indonesia, identitas suku dan nilai-nilai sosial budaya daerah masih tercermin dalam bahasa daerah masing-masing. Kedudukan dan fungsi bahasa daerah masih tegar dan tidak bergoyah sedikit pun. Bahkan, bahasa daerah diharapkan dapat memperkaya khazanah bahasa Indonesia.
Dengan fungsi keempat, bahasa Indonesia sering kita rasakan manfaatnya dalam kehidupan sehari-hari. Bayangkan saja apabila kita ingin berkomunikasi dengan seseorang yang berasal dari suku lain yang berlatar belakang bahasa berbeda, mungkinkah kita dapat bertukar pikiran dan saling memberikan informasi? Bagaimana cara kita seandainya kita tersesat jalan di daerah yang masyarakatnya tidak mengenal bahasa Indonesia? Bahasa Indonesialah yang dapat menanggulangi semuanya itu. Dengan bahasa Indonesia kita dapat saling berhubungan untuk segala aspek kehidupan. Bagi pemerintah, segala kebijakan dan strategi yang berhubungan dengan ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan kemanan (disingkat: ipoleksosbudhankam) mudah diinformasikan kepada warganya. Akhirnya, apabila arus informasi antarkita meningkat berarti akan mempercepat peningkatan pengetahuan kita. Apabila pengetahuan kita meningkat berarti tujuan pembangunan akan cepat tercapai.

makalah pendidikan agama

BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Agama memberikan penjelasan bahwa manusia adalah mahluk yang memilki potensi untuk berahlak baik (takwa) atau buruk (fujur) potensi fujur akan senantiasa eksis dalam diri manusia karena terkait dengan aspek instink, naluriah, atau hawa nafsu, seperti naluri makan/minum, seks, berkuasa dan rasa aman. Apabila potentsi takwa seseorang lemah, karena tidak terkembangkan (melalui pendidikan), maka prilaku manusia dalam hidupnya tidak akan berbeda dengan hewan karena didominasi oleh potensi fujurnya yang bersifat instinktif atau implusif (seperti berjinah, membunuh, mencuri, minum-minuman keras, atau menggunakan narkoba dan main judi).
Agar hawa nafsu itu terkendalikan (dalam arti pemenuhannya sesuai dengan ajaran agama), maka potensi takwa itu harus dikembangkan, yaitu melalui pendidikan agama dari sejak usia dini. Apabila nilai-nilai agama telah terinternalisasi dalam diri seseorang maka dia akan mampu mengembangkan dirinya sebagai manusia yang bertakwa, yang salah satu karakteristiknya adalah mampu mengendalikan diri (self contor) dari pemuasan hawa nafsu yang tidak sesuai dengan ajaran agama.

B. Rumusan Masalah


Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam proses penyusunan makalah ini adalah “Hubungan Manusia Dengan Agama”.
Untuk memberikan kejelasan makna serta menghindari meluasnya pembahasan, maka dalam makalah ini masalahnya dibatasi pada :
1. Pengertian Agama
2. Konsepsi Agama
3. Hubungan Agama Dan Manusia
4. Agama Sebagai Petunjuk Tata Sosial

BAB II

HUBUNGAN MANUSIA DAN AGAMA


A. Pengertian Agama
Agama menurut bahasa sangsakerta, agama berarti tidak kacau (a = tidak gama = kacau) dengan kata lain, agama merupakan tuntunan hidup yang dapat membebaskan manusia dari kekacauan. Didunia barat terdapat suatu istilah umum untuk pengertian agama ini, yaitu : religi, religie, religion, yang berarti melakukan suatu perbuatan dengan penuh penderitaan atau mati-matian, perbuatan ini berupa usaha atau sejenis peribadatan yang dilakukan berulang-ulang. Istilah lain bagi agama ini yang berasal dari bahasa arab, yaitu addiin yang berarti : hukum, perhitungan, kerajaan, kekuasaan, tuntutan, keputusan, dan pembalasan. Kesemuanya itu memberikan gambaran bahwa “addiin” merupakan pengabdian dan penyerahan, mutlak dari seorang hamba kepada Tuhan penciptanya dengan upacara dan tingkah laku tertentu, sebagai manifestasi ketaatan tersebut (Moh. Syafaat, 1965).
Dari sudut sosiologi, Emile Durkheim (Ali Syari’ati, 1985 : 81) mengartikan agama sebagai suatu kumpulan keayakinan warisan nenek moyang dan perasaan-perasaan pribadi, suatu peniruan terhadap modus-modus, ritual-ritual, aturan-aturan, konvensi-konvensi dan praktek-praktek secara sosial telah mantap selama genarasi demi generasi.
Sedangkan menurut M. Natsir agama merupakan suatu kepercayaan dan cara hidup yang mengandung faktor-faktor antara lain :
a. Percaya kepada Tuhan sebagai sumber dari segala hukum dan nilai-nilai hidup.
b. Percaya kepada wahyu Tuhan yang disampaikan kepada rosulnya.
c. Percaya dengan adanya hubungan antara Tuhan dengan manusia.
d. Percaya dengan hubungan ini dapat mempengaruhi hidupnya sehari-hari.
e. Percaya bahwa dengan matinya seseorang, hidup rohnya tidak berakhir.
f. Percaya dengan ibadat sebagai cara mengadakan hubungan dengan Tuhan.
g. Percaya kepada keridhoan Tuhan sebagai tujuan hidup di dunia ini.
Sementara agama islam dapat diartikan sebagai wahyu Allah yang diturunkan melalui para Rosul-Nya sebagai pedoman hidup manusia di dunia yang berisi Peraturan perintah dan larangan agar manusia memperoleh kebahagaian di dunia ini dan di akhirat kelak.

B. Konsepsi Agama
Dalam Al-Qur’an Surat Al-Bakoroh 208, Allah berfirman :
يايها الدين امنواادخلوا فى السلم كافة ولاتتبعوا خطوت الشيطن انه لكم عد ومبين
Artinya : Hai orang-orang yang beriman masuklah kamu kedalam islam secara utuh, keseluruhan (jangan sebagian-sebagaian) dan jangan kamu mengikuti langkah setan, sesunggungnya setan itu musuh yang nyata bagimu.
Kekaffahan beragama itu telah di contohkan oleh Rosulullah sebagai uswah hasanah bagi umat islam dalam berbagai aktifitas kehidupannya, dari mulai masalah-masalah sederhana (seperti adab masuk WC) samapi kepada masalah-masalah komplek (mengurus Negara). Beliu telah menampilkan wujud islam itu dalam sikap dan prilakunya dimanapun dan kapanpun beliu adalah orang yang paling utama dan sempurna dalam mengamalkan ibadah mahdlah (habluminallah) dan ghair mahdlah (hablumminanas).
Meskipun beliau sudah mendapat jaminan maghfiroh (ampunan dari dosa-dosa) dan masuk surga, tetapi justru beliau semakin meningkatkan amal ibadahnya yang wajib dan sunah seperti shalat tahajud, zdikir, dan beristigfar. Begitupun dalam berinteraksi sosial dengan sesama manusia beliu menampilkan sosok pribadi yang sangat agung dan mulia.
Kita sebagai umat islam belum semuanya beruswah kepada Rasulullah secara sungguh-sungguh, karena mungkin kekurang pahaman kita akan nilai-nilai islam atau karena sudah terkontaminasi oleh nilai, pendapat, atau idiologi lain yang bersebrangan dengan nilai-nilai islam itu sendiri yang di contohkan oleh Rasulullah SAW.
Diantara umat islam masih banyak yang menampilkan sikap dan prilakunya yang tidak selaras, sesuai dengan nila-nilai islam sebagai agama yang dianutnya. Dalam kehidupan sehari-hari sering ditemukan kejadian atau peristiwa baik yang kita lihat sendiri atau melalui media masa mengenai contoh-contoh ketidak konsistenan (tidak istikomah) orang islam dalam mempedomani islam sebagai agamanya.

C. Hubungan Agama Dan Manusia
Kondisi umat islam dewasa ini semakin diperparah dengan merebaknya fenomena kehidupan yang dapat menumbuhkembangkan sikap dan prilaku yang a moral atau degradasi nilai-nilai keimanannya.
Fenomena yang cukup berpengaruh itu adalah :
1. Tayangan media televisi tentang cerita yang bersifat tahayul atau kemusrikan, dan film-film yang berbau porno.
2. Majalah atau tabloid yang covernya menampilkan para model yang mengubar aurat.
3. Krisis ketauladanan dari para pemimpin, karena tidak sedikit dari mereka itu justru berprilaku yang menyimpang dari nilai-nilai agama.
4. Krisis silaturahmi antara umat islam, mereka masih cenderung mengedepankan kepentingan kelompoknya (partai atau organisasi) masing-masing.
Sosok pribadi orang islam seperti di atas sudah barang tentu tidak menguntungkan bagi umat itu sendiri, terutama bagi kemulaian agama islam sebagai agama yang mulia dan tidak ada yang lebih mulia di atasnya. Kondisi umat islam seperti inilah yang akan menghambat kenajuan umat islam dan bahkan dapat memporakporandakan ikatan ukuwah umat islam itu sendiri.
Agar umat islam bisa bangkit menjadi umat yang mampu menwujudkan misi “Rahmatan lil’alamin” maka seyogyanya mereka memiliki pemahaman secara utuh (Khafah) tentang islam itu sendiri umat islam tidak hanya memiliki kekuatan dalam bidang imtaq (iman dan takwa) tetapi juga dalam bidang iptek (ilmu dan teknologi). Mereka diharapkan mampu mengintegrasikan antara pengamalan ibadah ritual dengan makna esensial ibadah itu sendiri yang dimanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari, seperti : pengendalian diri, sabar, amanah, jujur, sikap altruis, sikap toleran dan saling menghormatai tidak suka menyakiti atau menghujat orang lain. Dapat juga dikatakan bahwa umat islam harus mampu menyatu padukan antara mila-nilai ibadah mahdlah (hablumminalaah) dengan ibadag ghair mahdlah (hamlumminanas) dalam rangka membangun “Baldatun thaibatun warabun ghafur” Negara yang subur makmur dan penuh pengampunan Allah SWT.

D. Agama Sebagai Petunjuk Tata Sosial
Rosulullah SAW bersabda : “Innamaa bu’itstu liutammima akhlaaq” Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak. Yang bertanggung jawab terhadap pendidikan akhlak adalah orang tua, guru, ustad, kiai, dan para pemimpin masyarakat.
Pendidikan akhlak ini sangat penting karena menyangkut sikap dan prilaku yang musti di tampilkan oleh seorang muslim dalam kehidupan sehari-hari baik personal maupun sosial (keluarga, sekolah, kantor, dan masyarakat yang lebih luas). Akhlak yang terpuji sangat penting dimiliki oleh setiap muslim (masyarakat sebab maju mumdurnya suatu bangsa atau Negara amat tergantung kepada akhlak tersebut.
Untuk mencapai maksud tersebut maka perlu adanya kerja sama yang sinerji dari berbagai pihak dalam menumbuhkembangkan akhlak mulya dan menghancur leburkan faktor-faktor penyebab maraknya akhlak yang buruk.



BAB III
KESIMPULAN


Agama menurut bahasa sangsakerta, agama berarti tidak kacau (a = tidak gama = kacau) dengan kata lain, agama merupakan tuntunan hidup yang dapat membebaskan manusia dari kekacauan.
Kita sebagai umat islam belum semuanya beruswah kepada Rasulullah secara sungguh-sungguh, karena mungkin kekurang pahaman kita akan nilai-nilai islam atau karena sudah terkontaminasi oleh nilai, pendapat, atau idiologi lain yang bersebrangan dengan nilai-nilai islam itu sendiri yang di contohkan oleh Rasulullah SAW.
Agar umat islam bisa bangkit menjadi umat yang mampu menwujudkan misi “Rahmatan lil’alamin” maka seyogyanya mereka memiliki pemahaman secara utuh (Khafah) tentang islam itu sendiri umat islam tidak hanya memiliki kekuatan dalam bidang imtaq (iman dan takwa) tetapi juga dalam bidang iptek (ilmu dan teknologi).
Pendidikan akhlak ini sangat penting karena menyangkut sikap dan prilaku yang musti di tampilkan oleh seorang muslim dalam kehidupan sehari-hari baik personal maupun sosial (keluarga, sekolah, kantor, dan masyarakat yang lebih luas). Akhlak yang terpuji sangat penting dimiliki oleh setiap muslim (masyarakat sebab maju mumdurnya suatu bangsa atau Negara amat tergantung kepada akhlak tersebut.



DAFTAR PUSTAKA

Amin, Ahmad,. Ilmu Akhlak, Bulan Bintang, Jakarta. 1968.
Bakar Atjeh, Abu. Mutiara Akhlak 1, Bulan Bintang, Jakarta.1968.
Hasan, Ali H.M. Agama Islam. Jakarta: Direktorat Jendral Pembinaan Kelambagaan Agama Islam. 1994/1995.
Dr. H. Syamsu Yusuf LN, M.Pd.. Psikologi Belajar Agama. Pustaka Bani Qurais. Bandung. 2003.

Selasa, 22 Desember 2009

berarti org lain itu akan mencintai/baik ama kita klo kita mencintai/baik dulu ama org lain itu? wah itu mah gampang…ga ada artinya…
coba klo kita baik ama org yg menyakiti kita, bisa ga? itu susah dan malah lbh berarti klo bs…. good luck!!!!!!!!

CINTA itu sangat berarti bagi MANUSIA,
Tanpa ada CINTA kita tidak ada di DUNIA ini,

Rasa PERIH, Rasa SAKIT, Rasa KESAL, dan Sebagainya pasti ada di dalam diri MANUSIA, hanya satu Obatnya..
ADALAH dengan Sebuah CINTA , dengan Cinta semuanya Bisa Redam, dan bisa Menetralisir SEGALANYA.

karena cinta tercipta..maka kita siap menerima dari tiada ke tiada..
salut tulisannya…

Jumat, 14 Agustus 2009

gays

sdtdaffhf